BUDAYA SELINGKUH

Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Kata selingkuh berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan tidak jujur atau sembunyi-sembunyi; atau menyembunyikan sesuatu yang bukan miliknya. Termasuk maknanya pula adalah perbuatan serong.

Meskipun demikian, istilah selingkuh di Indonesia memiliki makna khusus “hubungan gelap” atau hubungan seseorang—yang sudah bersuami atau sudah beristri—dengan pasangan lain.

Dalam Wikipedia bahasa Indonesia disebutkan, perselingkuhan adalah hubungan individu, baik pria maupun wanita, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, dengan orang lain yang bukan pasangannya. 

SELINGKUH DI TANAH AIR

Harus diakui, budaya selingkuh semakin menggejala di tengah masyarakat dan sedikit demi sedikit semakin mendapatkan ruang yang leluasa, terutama dengan adanya kemajuan sarana informasi dan komunikasi. Selingkuh bahkan menjadi semacam tren masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.

Menurut data statistik dari Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama, selingkuh telah menjadi virus keluarga peringkat keempat. Pada 2005, misalnya, ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh; 9.071 karena gangguan pihak ketiga dan 4.708 akibat cemburu. Jumlahnya mencapai 9,16% dari 150.395 kasus perceraian.

Alhasil, dari sepuluh keluarga yang bercerai, satu di antaranya karena selingkuh. Rata-rata, setiap dua jam ada tiga pasangan suami istri bercerai gara-gara selingkuh.

Perselingkuhan ini diprediksi akan naik. “Karena banyak tokoh yang melakukannya,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Wanita Untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti.

“Selingkuh adalah fenomena tidak sehat bangsa ini. Selingkuh itu zina,” tandas Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama. (Republika; Ahad, 7 Januari 2007)

Sayang, selingkuh sendiri kerap dipelesetkan sebagai akronim dari “Selingan Indah Keluarga Utuh”. Wallahul musta’an.

Selingkuh Dalam Istilah Agama

Selingkuh dalam Islam dikenal dengan istilah khianat atau al-khianah az-zaujiyyah. Artinya, berpalingnya seseorang yang sudah memiliki pasangan kepada yang bukan pasangannya.

Perilaku selingkuh dapat digambarkan dalam beberapa bentuk, antara lain:

1.      Pandangan yang diharamkan, yakni melihat hal-hal yang diharamkan, baik melihat pria/wanita yang bukan pasangannya secara langsung maupun melihat gambar yang diharamkan, di majalah, televisi, atau internet.

2.      Obrolan yang diharamkan, baik melalui telepon, internet, maupun pembicaraan secara langsung.

Meskipun demikian, tidak berarti setiap pembicaraan antara wanita dan pria ajnabi (asing/bukan mahramnya) adalah haram. Akan tetapi, yang dimaksud adalah pembicaraan dengan niat bersenang-senang yang diharamkan, dengan suara yang sengaja dibuat merdu.

3.      Pertemuan dengan tujuan bersenang-senang dan mencari kepuasan.

4.      Hubungan badan alias zina, wal ’iyadzu billah (hanya kepada Allah kita memohon perlindungan).

Khianat adalah lawan kata amanat. Adapun amanat erat kaitannya dengan seluruh takalif syar’iyyah (beban/perintah syariat). Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

 “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikul amanat itu dan khawatir tidak akan sanggup melaksanakannya (berat). Lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh. (al-Ahzab: 72)

Khianat adalah kata yang bersifat umum, menunjukkan kekurangan atau ketidaksempurnaan dalam memenuhi sesuatu. Adapun khianat dalam agama artinya tidak menunaikan perintah-perintah syariat. Seseorang dikatakan berkhianat kepada Rabb-nya apabila dia kafir dan murtad, dan berkhianat kepada Rasul shallallahu ‘alaihi was salam apabila dia meninggalkan sunnah-sunnah beliau.

Terkait dengan al-khianah az-zaujiyyah (perselingkuhan), ada beberapa macam khianat yang masuk kategori ini, di antaranya:

1.      Khianat dalam hal agama, yang berarti kekufuran.

Apabila istri menyelisihi agama suaminya yang muslim, berarti dia telah mengkhianati sang suami. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱمْرَأَتَ نُوحٍ وَٱمْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَٰلِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيْـًٔا وَقِيلَ ٱدْخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir dengan istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada suami mereka. Namun, kedua suami itu tidak dapat menyelamatkan mereka sedikit pun dari siksa Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), ‘Masuklah kalian berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (at-Tahrim: 10)

Khianat yang disebutkan dalam ayat ini adalah khianat kesyirikan dan kekufuran, sebagaimana menurut mayoritas ahli tafsir, bukan khianat yang berupa perzinaan. Ibnu ‘Abbas c menuturkan dalam sebuah riwayat, “Tidak ada sama sekali istri nabi yang berzina!” (Tafsir ath-Thabari)

2.      Khianat dalam hal harta.

Terkadang seorang istri dengan seenaknya menggunakan harta suaminya. Dia berfoya-foya dan menghabiskan harta sang suami tanpa sepengetahuan suaminya. Ini termasuk kategori khianat. Sekalipun si istri ingin bersedekah dari harta suaminya, dia tidak boleh melakukannya kecuali dengan sebagian kecil harta saja. Adapun bersedekah dengan harta yang banyak, dia harus meminta izin sang suami terlebih dahulu.

3.      Khianat dalam hal tempat tidur, yakni zina.

Dari segi penggunaan, khianat inilah yang kemudian populer, baik dahulu maupun sekarang, sehingga menjadi istilah yang diketahui secara umum bahwa khianat berarti zina. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ذَٰلِكَ لِيَعْلَمَ أَنِّى لَمْ أَخُنْهُ بِٱلْغَيْبِ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى كَيْدَ ٱلْخَآئِنِين . وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيم

 “(Yusuf berkata), ‘Yang demikian itu agar dia (al-Aziz) mengetahui bahwa aku benar-benar tidak mengkhianatinya ketika dia tidak ada (di rumah), dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Yusuf: 52—53)

Istri al-Aziz mengakui bahwa dirinyalah yang menggoda Nabi Yusuf ‘alaihi salam. Akan tetapi, dia tidak sampai mengkhianati suaminya dengan khianat yang diketahui secara umum, yakni zina. (Tafsir Ibnu Katsir) 

Sebab Terjadinya Perselingkuhan

Ada banyak sebab yang melatarbelakangi terjadinya perselingkuhan; di antaranya dapat disimpulkan menjadi beberapa poin berikut.

  • Lemahnya pemahaman agama dan tidak adanya perhatian terhadap perintah dan larangan yang terdapat dalam syariat Allah, terkhusus yang terkait dengan pergaulan antara pria dan wanita.
  • Kesibukan masing-masing dengan urusan pribadi tanpa memedulikan pasangannya dan keinginannya. Istri hidup untuk diri dan keinginannya saja, begitu pula suami. Alhasil, istri ada di satu sisi, dan suami ada di sisi yang lain. Hati dan perasaan mereka berdua nyaris tidak pernah bertemu.
  • Adanya perasaan jenuh dan hubungan yang mulai dingin antara suami dan istri, terkhusus setelah melewati beberapa tahun pernikahan dan hadirnya anak. Istri cenderung menyibukkan diri dengan anak-anak sehingga mengabaikan hak dan hasrat suaminya. Sebaliknya, suami menyibukkan diri dengan pekerjaan, tidak menoleh kepada kebutuhan dan hasrat istrinya.
  • Berteman dengan orang-orang yang tidak baik yang selalu menggambarkan kemaksiatan sebagai sesuatu yang indah, baik dengan tingkah laku maupun kata-kata yang menipu. Teman tersebut mendorong istri agar mengabaikan ketaatan kepada suami dan melakukan hal-hal yang dibenci suami. Demikian pula keadaan suami.
  • Membiarkan pria ajnabi (bukan mahram) bebas masuk dan bergaul dengan istri, atau membiarkan wanita yang bukan mahram masuk dan tinggal di rumah suami.
  • Menganggap lumrah campur baur dengan pria atau wanita yang bukan mahram dan tidak mengindahkan aturan syariat dalam masalah ini.
  • Banyaknya sarana pendukung pornoaksi dan pornografi, seperti televisi, internet, dan lain-lain.
  • Banyaknya wanita yang bekerja di luar rumah dan bercampur baur dengan pria dalam sebuah pekerjaan, baik di kantor-kantor, pertokoan, pasar, pabrik, maupun tempat lainnya. Bahkan, tidak sedikit wanita yang baru pulang dari tempat kerja setelah larut malam.

Perlu diingat oleh semua pihak, Allah Subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan para hamba-Nya yang beriman agar menjaga kemaluan mereka dan menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya.

Istri hendaknya mengetahui bahwa jika suaminya berkhianat atau berselingkuh, dia tidak boleh membalasnya dengan hal yang sama. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha menarik sang suami dan menyelamatkannya. Sebab, bisa jadi pengkhianatan suaminya adalah lantaran dirinya. Maka dari itu, keburukan tidak boleh dibalas dengan keburukan yang semisalnya.

Di samping itu, faktor keagamaan memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga seseorang agar tidak jatuh ke dalam hal yang dibenci oleh Allah. Perasaan selalu diawasi oleh Allah, takut akan siksa-Nya, dan berharap pahala-Nya berdampak besar dalam pembentukan kepribadian seseorang.

Jika hal tersebut telah menghunjam kuat pada diri seseorang, dia akan berupaya menjaga diri dari hal-hal yang haram dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Dia juga mempersempit frekuensi interaksinya dengan hal-hal yang berbau fitnah (godaan syahwat) berikut segala sarananya.

Selingkuh Dalam Tinjauan Hukum Islam

Begitu berat hukuman yang ditetapkan oleh Islam bagi orang yang melakukan perbuatan keji dalam keadaan telah memiliki pasangan, suami atau istri. Oleh karena itu, pria yang telah dianugerahi pasangan hidup oleh Allah Subhanahu wa ta’ala hendaknya bertakwa kepada-Nya. Dia harus mengetahui bahwa hubungan terlarang dengan wanita yang bukan pasangannya adalah dosa besar.

Istri yang beriman kepada Allah dan hari akhir diharamkan menampakkan auratnya di hadapan pria selain suaminya, karena hal itu akan menjerumuskannya ke dalam kejelekan, perbuatan keji, dan mungkar.

Syariat Islam telah mengharamkan perbuatan zina. Namun, yang dilarang tidak sekadar melakukan hubungan badan secara langsung, tetapi juga segala sarana yang mengarah kepada perzinaan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

 “Janganlah kalian mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk. (al-Isra: 32)

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

 “Janganlah kalian mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. (al-An’am: 151)

Semua itu dalam rangka menutup segala celah menuju perzinaan, seperti berdua-duaan dengan lawan jenis, melihat hal-hal yang diharamkan, dan memperlihatkan aurat.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa dalam zina terkumpul semua kejelekan, seperti hilangnya sifat wara’, kurangnya agama, rusaknya muruah (kehormatan diri), dan sedikitnya kecemburuan.

Beliau juga berkata, “Anda tidak akan mendapati seorang pezina mempunyai sifat wara, kejujuran dalam perkataan, dan kecemburuan yang sempurna terhadap keluarganya. Sebagai bentuk kemurkaan Allah kepadanya adalah rusaknya kehormatan anak-anaknya, hilangnya cahaya hatinya, dan lenyapnya kehormatan dirinya.

Martabat seorang pezina akan jatuh dalam pandangan Allah dan di hadapan hamba-hamba-Nya. Nama baiknya akan tercoreng sehingga dia menyandang julukan yang jelek. Sesungguhnya, orang yang hanya mencari kelezatan hidup dan merasa nyaman dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah akan dihukum oleh-Nya dengan sesuatu yang menjadi kebalikannya. Apa yang ada di sisi Allah tidak akan didapat selain dengan ketaatan. Allah tidak menjadikan kemaksiatan sebagai sebab untuk mendapatkan kebaikan.”

Islam sangat perhatian terhadap penjagaan kehormatan. Sebagai contoh, dalam khutbah Haji Wada’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam menyampaikan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian, dan mereka pun mempunyai hak atas kalian. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Adapun hak mereka atas kalian adalah kalian berbuat baik kepada mereka dalam hal pakaian dan makanan. (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Selain itu, dalam rangka menjaga kehormatan, istri dilarang melepas pakaiannya di selain rumah suaminya. Diriwayatkan dari Abu Malih bahwa para wanita dari penduduk Himsh atau penduduk Syam datang menemui Aisyah. Aisyah berkata kepada mereka, ”Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا فَقَدْ هَتَكَتِ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا

“Wanita mana saja yang melepas pakaiannya di selain rumah suaminya, dia telah merobek tabir antara dirinya dan Rabb-nya.” (HR. AhmadIbnu Majahal-Hakim, dll)

Islam melarang pria menemui wanita yang bukan mahramnya, khususnya ketika suami si wanita sedang tidak ada di tempat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Janganlah kalian masuk ke tempat kaum wanita.” Seorang pria Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Muslim)

Sepasang suami dan istri hendaknya menjaga kesucian hubungan mereka dengan segala cara yang disyariatkan. Jika hasrat dan keinginan suami tidak sedang bergelora terhadap istrinya pada suatu waktu, padahal si istri sangat menginginkannya, si suami hendaknya memenuhi keinginannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Pada kemaluan kalian juga terdapat sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami menumpahkan syahwatnya akan mendapat pahala?” Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat kalian, kalau syahwatnya diletakkan pada yang haram, bukankah dia berdosa? Demikian pula kalau dia meletakkannya pada yang halal, tentu memperoleh pahala.” (HR. Muslim)

Suami tidak boleh menyibukkan diri dengan sesuatu yang membuat si istri terhalang dari bersenang-senang dengannya, entah sibuk dengan pekerjaan—bahkan dengan ibadah sekalipun—atau dengan sengaja meninggalkan istri dalam waktu lama tanpa ada keperluan. Demikian pula sebaliknya, jika istri diajak oleh suaminya ke tempat tidur, baik siang maupun malam, dia tidak boleh menolak kecuali apabila ada halangan yang syar’i.

Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah (kita memohon kepada Allah keselamatan dan perlindungan). Wallahu a’lam.

Sumber Artikel : Majalah Qonitah Online

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.